Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat DPR (DPR) Aceh mengonfirmasi kebijakan pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikeluarkan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh melalui surat edaran pada akhir Desember 2022 lalu. DPRA menilai kebijakan tersebut justru membuat warga Aceh kian kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi.
“Ini saya rasa monopoli juga (terkait SE pembatasan subsidi yang dikeluarkan Pj Gubernur Aceh),” kata Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yaya saat memimpin rapat koordinasi pengendalian dan pendistribusian jenis BBM di Aceh.
Rapat koordinasi ini berlangsung di ruang Badan Anggaran DPR Aceh, Kamis, 5 Januari 2023. Hadir dalam rapat ini Kepala Seksi Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ir Eulis Yesika, Asisten 2 Sekretariat Daerah (Setda) Aceh Ir Mawardi, Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh Amirullah, SE., M.Si, Ak, dan Kasi Perkembangan Usaha Migas Dinas ESDM Aceh, Zulfikar, ST, M.Si.
Ikut serta dalam rapat koordinasi tersebut Sales Area Manager Retail Pertamina Aceh, Arwin Nugraha, dan Sales Branch Manager Rayon I Aceh PT Pertamina Patra Niaga, Staleva Putra Githa Daulay.
Sementara dari pihak DPR Aceh, selain Saiful Bahri, rapat koordinasi tersebut juga dihadiri Ketua Fraksi Partai Aceh Tarmizi, SP, Ketua Komisi II Ridwan Yunus, Sekretaris Komisi III Azhar Abdurrahman, dan Anggota Komisi III DPR Aceh Mawardi, M.Sc.
Pada kesempatan tersebut, Ketua DPR Aceh mempertanyakan landasan pihak eksekutif sehingga lahirnya Surat Edaran (SE) Pj Gubernur Aceh yang membatasi penggunaan BBM subsidi jenis solar. Surat tersebut belakangan marak beredar di media massa dan mendapat sorotan dari publik di Aceh. Apalagi dengan keluarnya SE tersebut pada 27 Desember 2022 dinilai belum dapat mengatasi menumpuknya kendaraan, di hampir rata-rata SPBU penyedia solar bersubsidi yang ada di Aceh.
Terkait hal ini, Saiful Bahri selaku pimpinan di DPR Aceh turut berharap Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat mau bergandengan tangan bersama legislatif dalam melahirkan sebuah aturan. Apalagi hal tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga keberadaan DPR Aceh tidak boleh dikesampingkan begitu saja.
Dalam kesempatan yang sama, Saiful Bahri turut mempertanyakan birokrasi administrasi surat menyurat yang dikirimkan ke komisi-komisi oleh pihak kepolisian di Aceh tanpa sepengetahuan Ketua DPR Aceh. Anehnya lagi surat yang dinilai keliru tersebut menjadi rujukan eksekutif mengeluarkan SE Pj Gubernur Aceh terkait pembatasan BBM Subsidi jenis solar.
“Darimana logika kita bahwa untuk mengatasi antrian yang panjang kita batasi (penggunaan BBM subsidi)? Ini kan aneh,” timpal Ketua Komisi II DPR Aceh, Ridwan Yunus dalam rapat tersebut.
Menurut Ridwan Yunus, pembatasan penggunaan BBM Subsidi akan memangkas pemenuhan hak dasar warga Aceh. Apalagi menurutnya, BBM merupakan kebutuhan dasar saat ini bagi setiap warga negara di Indonesia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sayangnya Ridwan Yunus mengaku tidak dapat hadir dalam pertemuan yang digelar sehingga melahirkan SE Pj Gubernur Aceh terkait pembatasan subsidi solar tersebut. Alasannya karena birokrasi administrasi surat tersebut tidak sesuai dengan tata kelola pemerintahan dan organisasi DPR Aceh.
“Kalau saya hadir, akan saya tentang SE ini,” kata Ridwan Yunus.
Ridwan dalam rapat tersebut turut mempertanyakan jumlah total kuota solar subsidi yang diberikan untuk Aceh serta jumlah mobil plat nomor kendaraan luar daerah yang beroperasi di Tanah Rencong. Dia mengatakan seharusnya kendaraan plat luar tersebut yang harus dibatasi penggunaan solar bersubsidi di wilayah Aceh.
“Saya apresiasi pak Gubernur kalau itu yang dibatasi,” kata Ridwan Yunus.
Kepala Seksi Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ir Eulis Yesika, dalam rapat tersebut mengaku, kebijakan yang melahirkan SE Pj Gubernur Aceh terkait pembatasan BBM subsidi jenis solar bersandar pada Perpres 121 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Menurut Eulis, Perpres ini sudah berlaku sejak Februari 2020.
“Ada migrasi juga karena kenaikan BBM yang industrinya kan terlalu tinggi, maka ada imigrasi kendaraan,” ujar Eulis menjawab pertanyaan Ketua DPR Aceh terkait kondisi kekinian yang masih terlihat antrian pembelian BBM Subsidi di SPBU meski Perpres tersbeut sudah berlaku sejak tahun 2020.
Mendapat jawaban seperti itu, Saiful Bahri menekankan seharusnya daerah Aceh memiliki lex specialis dalam hal pengaturan minyak bumi dan gas. Sehingga, kata dia, tidak seluruhnya kebijakan yang berlaku nasional juga dapat diterapkan di Aceh. “Kita di Aceh ada lex specialis, jadi seharusnya semua bisa kita atur sendiri dengan musyawarah mufakat dengan Pemerintah Aceh,” tutur Saiful Bahri.
Menurutnya tanpa adanya pertimbangan Aceh sebagai daerah lex specialis, maka pemerintahan daerah akan pincang. Inilah pentingnya melibatkan DPR Aceh dalam mengambil kebijakan sesuai kewenangannya sehingga patut mendapat protes dari pihak legislatif.
“Rakyat mengadunya ke kami (setiap lahirnya kebijakan yang tidak pro rakyat). Inilah alasan kami memanggil bapak-bapak dan ibu kemari untuk mencari jalan keluar. Jadi tidak semua perintah dari Pemerintah Pusat harus kita ikuti, karena hadirnya negara memang untuk rakyat, kalau untuk menyengsarakan rakyat jadi untuk apa juga negara,” tegas Saiful Bahri.
Sementara Sekretaris Komisi III Azhar Abdurrahman menganggap rapat koordinasi terkait BBM subsidi ini sepatutnya dihadiri Kepala BIN Daerah, unsur kepolisian dan juga Kodam IM. Menurutnya para pihak penegak hukum tersebut perlu dilibatkan lantaran berkaitan dengan dugaan adanya oknum yang terlibat dalam penggunaan BBM bersubsidi secara tidak wajar di Aceh. Dia merujuk pada rapat yang pernah dilakukan DPR Aceh sebelumnya bersama unsur lembaga vertikal tersebut, yang menurut Azhar Abdurrahman sempat ada penangkapan besar-besaran terhadap oknum pemain BBM bersubsidi di Aceh.
“Kalau Kopral itu kan satu tangki dia angkat, kalau Jenderal itu satu kapal pindah minyak, makanya nggak pernah selesai masalah di Indonesia,” ungkap Azhar Abdurrahman.
Dia menganggap kondisi saat ini kembali berulang seperti era Orde Baru berkuasa di Indonesia, dimana logging, tambang, dan minyak dikuasai oleh lembaga-lembaga tertentu. Seharusnya permainan para oknum tersebut masuk dalam analisis intelijen karena dapat berdampak pada inflasi cukup tinggi untuk Indonesia di masa mendatang.
“Minyak sulit, harga barang naik. Ini dengan tembok mana kita mau bicarakan, nggak selesai persoalan. Makanya kalau kita berteriak-teriak sesama sendiri tidak akan selesai,” kata Azhar Abdurrahman.
Azhar Abdurrahman tidak sepakat dengan permintaan penambahan kuota BBM bersubsidi untuk Aceh, yang dinilainya akan lebih menguntungkan atau memperkaya para oknum pemain. Menurutnya penambahan kuota BBM bersubsidi tersebut bahkan tidak akan berdampak pada rakyat. “Ini tidak akan selesai, karena siklus sudah ditarik kembali seperti era Orde Baru dan mereka sudah menguasai semua lini,” papar Azhar Abdurrahman.
Dia menganggap kondisi saat ini kembali berulang seperti era Orde Baru berkuasa di Indonesia, dimana logging, tambang, dan minyak dikuasai oleh lembaga-lembaga tertentu. Seharusnya permainan para oknum tersebut masuk dalam analisis intelijen karena dapat berdampak pada inflasi cukup tinggi untuk Indonesia di masa mendatang.
“Minyak sulit, harga barang naik. Ini dengan tembok mana kita mau bicarakan, nggak selesai persoalan. Makanya kalau kita berteriak-teriak sesama sendiri tidak akan selesai,” kata Azhar Abdurrahman.
Azhar Abdurrahman tidak sepakat dengan permintaan penambahan kuota BBM bersubsidi untuk Aceh, yang dinilainya akan lebih menguntungkan atau memperkaya para oknum pemain. Menurutnya penambahan kuota BBM bersubsidi tersebut bahkan tidak akan berdampak pada rakyat. “Ini tidak akan selesai, karena siklus sudah ditarik kembali seperti era Orde Baru dan mereka sudah menguasai semua lini,” papar Azhar Abdurrahman.
Dia menganggap kondisi saat ini kembali berulang seperti era Orde Baru berkuasa di Indonesia, dimana logging, tambang, dan minyak dikuasai oleh lembaga-lembaga tertentu. Seharusnya permainan para oknum tersebut masuk dalam analisis intelijen karena dapat berdampak pada inflasi cukup tinggi untuk Indonesia di masa mendatang.
“Minyak sulit, harga barang naik. Ini dengan tembok mana kita mau bicarakan, nggak selesai persoalan. Makanya kalau kita berteriak-teriak sesama sendiri tidak akan selesai,” kata Azhar Abdurrahman.
Azhar Abdurrahman tidak sepakat dengan permintaan penambahan kuota BBM bersubsidi untuk Aceh, yang dinilainya akan lebih menguntungkan atau memperkaya para oknum pemain. Menurutnya penambahan kuota BBM bersubsidi tersebut bahkan tidak akan berdampak pada rakyat. “Ini tidak akan selesai, karena siklus sudah ditarik kembali seperti era Orde Baru dan mereka sudah menguasai semua lini,” papar Azhar Abdurrahman.
Azhar menilai jika para oknum tersebut tidak ditertibkan, maka persoalan antrian BBM bersubsidi tidak akan pernah selesai di Indonesia maupun di Aceh. Inilah yang menurut Azhar penting melibatkan tiga institusi vertikal tersebut untuk mencari solusi mengatasi antrian BBM bersubsidi di Aceh.
Rapat koordinasi tersebut sempat berlangsung alot dan penuh tanya jawab antara pihak yang berhadir. Namun, Ketua DPR Aceh Saiful Bahri menegaskan alasan rapat tersebut digelar bukan dalam rangka mencari permusuhan dengan Pemerintah Pusat melainkan untuk mencari solusi agar BBM Subsidi tidak lagi langka di Aceh.
“Jadi hari ini kita tidak dalam keadaan bermusuhan, dalam hal ini saya mengutip satu kalimat yang selalu disampaikan oleh Panglima Kodam Hasan, bila ingin membangun Aceh kita mesti berdampingan. Jangan saling berhadap-hadapan. Dalam hal ini, kami mau berdampingan, kami coba tampil profesional, tapi kalau tidak dilibatkan mau bagaimana? Seharusnya sama-sama, apalagi ini Pj, yang ditunjuk Pemerintah Pusat, surat edaran ini mendapat apresiasi dari Pemerintah Pusat, sementara rakyat Aceh ini mendapatkan apa?” ulas Saiful Bahri diakhiri tanda tanya.
Asisten 2 Sekretariat Daerah (Setda) Aceh Ir Mawardi, yang turut hadir dalam rapat koordinasi tersebut menyampaikan penerbitan surat edaran Pj Gubernur terkait pembatasan BBM bersubsidi di Aceh berawal dari niat baik menyikapi kondisi yang terjadi di nyaris setiap SPBU yang ada di Aceh. Dia bahkan turut mencontohkan kejadian adanya antrian kendaraan di SPBU Lingke hingga mengular sampai gerbang keluar pintu kantor Gubernur Aceh beberapa waktu lalu. “Kalau kita masih bisa antri, tetapi bagaimana kalau ambulans yang mau lewat? Itu tidak bisa,” kata Mawardi.
Mawardi bahkan menilai SE yang dikeluarkan Pj Gubernur Aceh tidak sampai menuai reaksi seperti kebijakan mengeluarkan stiker pengguna BBM subsidi pada masa pemerintahan yang lalu. Mawardi mengakui setiap kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi kelangkaan BBM subsidi, selalu saja ada oknum-oknum yang mampu mencari celah untuk menggunakan bahan bakar subsidi secara tidak wajar.
“Dengan bermacam cara yang dilakukan oleh para pihak tersebut, apakah dengan memodifikasi tangki minyak, atau bahkan tugasnya hanya menjemput BBM dari SPBU kemudian stok kepada mereka, dan itu terekam dari kawan-kawan di Pertamina dengan nomor plat yang sama, satu hari empat kali mondar mandir tugasnya hanya jemput-jemput BBM itu,” ungkap Mawardi.
Menurut Mawardi, hal seperti inilah yang kemudian membuat BPH Migas mengambil sikap untuk mengikat MoU dengan Polri untuk melakukan pengawasan yang ketat, dalam hal penyaluran BBM bersubsidi.
Sementara terkait kebijakan pemberlakuan barcode di SPBU, menurut Mawardi, dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak semua orang yang tidak berhak dapat menggunakan BBM bersubsidi. “Tapi ada saja celah-celah yang lemah, yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu,” kata Mawardi lagi.
Kuota BBM Bersubsidi Mencukupi
Sales Area Manager Retail Pertamina Aceh, Arwin Nugraha, dalam rapat koordinasi tersebut menyebutkan alokasi BBM subsidi untuk Aceh pada tahun 2022 sebenarnya turun jika merujuk realisasi tahun 2021. Dia mengatakan kuota awal BBM Subsidi untuk Aceh tahun 2022 berjumlah 360 ribu kiloliter, sementara yang disalurkan pada tahun 2021 mencapai 373 ribu kiloliter. Namun, kata dia, guna menjaga stabilitas ekonomi di Aceh, maka Pemerintah Pusat meminta PT Pertamina untuk menyalurkan BBM Subsidi melebihi kuota yang ditentukan. “Dan ini terbukti hingga September, kami sudah menyalurkan 297 ribu kiloliter biosolar, padahal kuota sampai bulan September itu hanya sampai 270 ribu. Jadi kami salurkan di atas alokasi yang sebenarnya,” kata Arwin.
Hal ini kemudian membuat kuota BBM Subsidi biosolar untuk Aceh menjadi naik pada Triwulan IV dari 360 ribu kiloliter menjadi 410 ribu kiloliter. Dari kebijakan tersebut, menurutnya, pemerintah Pusat memiliki komitmen untuk menaikkan kuota sehingga alokasi BBM subsidi solar untuk Aceh sebenarnya sudah cukup.
Lantas kenapa terjadi antrian di SPBU?
Arwin membenarkan kondisi di lapangan serupa dengan gambaran yang disampaikan oleh Komisi III DPR Aceh. Berdasarkan data realisasi penyaluran solar subsidi pada tahun 2022 terjadi kenaikan rata-rata mencapai 1.130 kiloliter per hari. Hal ini menurutnya jauh berbeda dengan realisasi tahun 2021 yang jumlah rata-rata penggunaan BBM subsidi solar hanya 1.020 kiloliter per hari.
“Apakah mungkin kenaikan ini dikarenakan perekonomian yang wajar seperti angkutan barang atau orang sampai 20 persen kenaikannya?”
Inilah yang kemudian membuat PT Pertamina memberlakukan sistem subsidi tepat untuk mencegah permainan di lapangan. Dengan adanya sistem tersebut, diharapkan penggunaan BBM subsidi tidak tepat sasaran dapat diminimalisir karena adanya kuota yang diterapkan.
Selain itu, menurut Arwin, dengan adanya sistem tersebut, maka akan memudahkan PT Pertamina untuk melacak serta menemukan alamat pengguna BBM Subsidi secara tidak wajar tersebut. “Sekarang sudah bisa langsung datanya, misalnya nanti ada stakeholder yang lain, penegak hukum, kita sudah bisa buka datanya. Ada 81 kendaraan yang melakukan pengisian bahan bakar minyak lebih dari 800 liter dalam seminggu, luar biasa sekali,” kata Arwin.[Parlementaria]